Sabtu, 31 Mei 2008

Hizbullah

Tarikh Ditetapinya Kembali Jama’ah Muslimin (Hizbullah)



Pada awal tahun 1950-an, kubu-kubu masyarakat di Indonesia, baik muslim maupun nonmuslim, gemar mendirikan banyak partai, sebagai pelaksanaan teori kepartaian yang disebut sistem banyak partai (multipartai stelsel). Para pemuka muslimin umumnya beranggapan bahwa satu-satunya alat untuk menghimpun muslimin dalam usaha meraih cita-cita mereka, hanyalah dengan penerapan sistem kepartaian, yang bayi pertamanya lahir dari pangkuan masyarakat Inggris.

Adapun menghimpun masyarakat Islam dengan sistem Jama’ah dan Imamah masih terpendam dan dilupakan dari alam pikiran mereka. Orang dapat meletakkan segala kesalahan itu di atas pundak para ulama karena tidak mengungkapkan pengertian Jama’ah dan Imamah menurut syari’at Islam kepada khalayak ramai, terutama kepada para santrinya yang kelak akan menjadi pemuka ummat. Akan tetapi, kalau diselidiki secara lebih mendalam, ada beberapa sebab yang menghalanginya sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tak mungkin dapat dilaksanakan, yaitu:

Adanya guru ordonansi pada zaman Hindia Belanda yang mewajibkan ulama untuk minta izin dulu kepada penguasa sebelum mereka memberikan pelajaran agama kepada muridnya.

Adanya penyaringan dalam menentukan pelajaran-pelajaran yang boleh dan tidak boleh diajarkan.

Adanya pengertian, terutama dari golongan orientalis, bahwa masalah Jama’ah dan Imamah tergolong satu bab dalam bidang politik. Akibatnya, apabila bab tersebut diajarkan kepada para pelajar di pondok pesantren, pondok pesantren yang bersangkutan akan ditutup oleh pihak penjajah.

Ada dalam genggaman Allah subhanahu wa ta'ala semata, segala qudrat dan iradat yang Allah miliki.

Keempat sebab tersebutlah yang menjadi alasan utama para ‘alim merasa terbelenggu untuk memberikan pelajaran tentang beberapa bab dienul Islam, termasuk bab Jama’ah dan Imarah atau Imamah, bab jinayat, dan babul jihad. Juga beberapa kitab tentang Islam yang dicetak di luar negeri yang dapat membuka mata hati kaum muslimin dan membangkitkan roh Islam untuk melawan kezhaliman serta menyingkirkan fitnah penjajah. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda tidak segan-segan untuk melarangnya.

Iklim kolonial yang dirasakan sangat mencekam jiwa para alim itu pula yang akhirnya menghasilkan suatu akibat besar yang merugikan kaum muslimin. Sebab, para pemuka ummat waktu itu, bahkan setelah Indonesia merdeka, diliputi kabut gelap yang cukup kelam dalam memahami arti Jama’ah dan Imamnya sepanjang syari’at Islam, yang berlandaskan dalil-dalil qath’iy dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah.

Ketika kami perdengarkan gerakan Islam yang disebut Hizbullah berbentuk Jama’ah dan Imamnya pada 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), reaksi pertama yang muncul dari para alim itu ialah sikap acuh tak acuh dan secara sinis mereka berkata, “Wah, apa-apaan pak Wali ini. Kita mau dibawanya kemana? masa kita mau dibawa kembali ke zaman unta?” Astaghfirullah. Seandainya sikap itu diucapkan oleh seorang ateis/komunis, bahkan dengan sikap yang lebih buruk daripada sikap itu, dapat kita pahami. Akan tetapi, reaksi tersebut justru muncul dari orang yang lidah dan bibirnya pernah digerakkan untuk mengucapkan kalimat syahadat, bahkan tergolong dalam barisan kader inti salah satu partai politik Islam.

Sekalipun demikian, kalangan Hizbullah menyambut reaksi tersebut dengan senyum. Hizbullah sama sekali tidak marah, selain mengucapkan istighfar.

Bagaimana pula reaksi para kader inti tersebut apabila mendengar salah satu atsar dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, yang menegaskan bahwa:

إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ {رواه الدارمي: 1/79}

“Sesungguhnya tidak ada Islam melainkan dengan Jama’ah, dan tiada Jama’ah melainkan dengan Imarah, dan tiada Imarah melainkan dengan taat.” (H.R. Ad Darimy dari Ad Daary. Sunan Ad Darimy, bab Fi Dzihabil ‘Ilmi, Darul Fikr, Kairo, Msir, 1398 H/1976 M. Juz 1 halaman 79).

Akankah ia membantah ucapan ‘Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu itu? Masihkah mereka bersikap acuh tak acuh serta melontarkan kata-kata sinis? Apakah tindakan ‘Umar bin Khaththab, seandainya beliau masih berada di tengah-tengah kita? Mudah-mudahan mereka akan mendapat maaf karena memang belum mengerti.

Untuk lebih memantapkan pengetian tentang Jama’ah dan kepentingannya bagi ummat manusia, khususnya bagi muslimin, perhatikan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

أَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَبِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى أَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَا جَهَنَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى قَالَ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِمَا سَمَّاهُمُ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {رواه أحمد}

“Aku perintahkan kepada kamu sekalian (kaum muslimin) dengan lima perkara, sebagaimana Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara, yaitu berjama’ah, mendengar, taat, hijrah dan berjihad fie sabilillah. Barang siapa yang keluar dari Al Jama’ah sekadar sejengkal, sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali (tobat). Dan barang siapa yang menyeru dengan seruan jahiliyyah, ia termasuk orang yang bertekuk lutut dalam Jahanam.”Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, jika dia shaum dan shalat dan mengaku dirinya muslim? Sekalipun dia shaum dan shalat, serta mengaku dirinya seorang muslim. Maka panggilah olehmu orang-orang muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka, “Al Muslimin, Al Mukminin, hamba-hamba Allah azza wa jalla.” (HR.. Ahmad dari Harits Al Asy’ari. Musnad Ahmad, juz 4 halaman 202, At Tirmidzi, Jami’ush Shahih, Kitabul Amtsal, bab maa ja-a fi Matsalish Shalati wash-Shiyami wash-Shadaqati, juz 5 halaman 148-149 hadits nomor 2863).

dan beliau bersabda :

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه مسلم}
“Barang siapa yang keluar dari tha’at dan berpisah dari Al-Jama’ah, lalu mati, maka matinya itu laksana mati jahiliyyah.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah. Shahih Muslim, Babul ‘Amri bi luzumil Jama’ah inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 135).

Dalam Riwayat Bukhari disebutkan:

فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه البخاري عن ابْنَ عَبَّاسٍ}
“Maka sesungguhnya barang siapa yang berpisah dari Al-Jama’ah sekadar sejengkal saja, kemudian ia mati, melainkan matinya seumpama mati jahiliyyah.” (HR. Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Qaulin Nabi satarauna ba’di umurun tunkirunaha, juz 4 halaman 222).

Dari kedua hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini saja, ditambah dengan atsar dari ‘Umar bin Khaththab, Insya Allah, telah cukup jelas betapa rapat, memadat, dan pentingnya hubungan antara Jama’ah dengan Al-Islam sebagai ad-dien dan muslimin.

Tidak ada komentar: