Sabtu, 31 Mei 2008

ISLAM NONPOLITIK

ISLAM NONPOLITIK

* secara umum, yaitu dilihat dari sumber dan prakteknya.

Sumber Politik

Pemikiran politik berasal dari Yunani purba, yaitu sekitar 500-400 sebelum tarikh masehi. Politik merupakan suatu karya pikir masyarakat Yunani purba dalam usaha mereka untuk menata masyarakatnya. Dari hasil pemikiran itulah, timbul kata-kata polis, politeia, politik**.

Pada saat itu Yunani purba belum mengenal nur kenabian dan kerasulan. Sejarah pun tidak pernah menyebutkan keberadaan seorang Nabi atau Rasul yang mendapat wahyu untuk membimbing umat di negeri itu. Para ahli pikir Yunani purba, yang terkenal sebagai ahli-ahli filsafat, mencari suatu tata tertib untuk mengatur masyarakatnya. Dengan kemampuan otak yang tinggi, mereka memikirkan upaya terbaik untuk menata masyarakatnya. Dari pemikiran itulah lahir filsafat kenegaraan, filsafat kemasyarakatan, filsafat hidup, dan lain-lain. Mereka merenungkan dan memikirkan semua itu.

Di antara ahli pikir (filosof) yang terkenal hingga saat ini adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles***.Mereka adalah ahli pikir yang ulung pada masanya. Hingga saat ini, buah pikiran atau filsafat mereka menjiwai dunia barat, pada umumnya, kecuali golongan Atheis (paham tak bertuhan), yang memuja Karl Marx, Engels, Lenin, Stalin, atau Mao Tse Tung.

Dalam masalah politik, dunia Barat selalu kembali pada zaman Yunani purba karena di sanalah pusat untuk menata masyarakat secara politik. Mereka yang berada di dunia Timur pun -yang dikuasai orang-orang Barat- juga mengambil ilmu tersebut. Hal itu bisa dipahami, karena besarnya pengaruh budaya Barat terhadap negeri mereka, sehingga tidaklah heran -di dunia Timur yang kebanyakan merupakan dunia Islam- bila wahyu dianggap sebagai politik Islam.

Di Eropa atau Amerika Serikat, banyak juga filosof tentang politik, misalnya Roosevelt, yang dianggap sebagai tokoh filsafat tentang kenegaraan. Pada masa kejayaan Nazi Jerman, Adolf Hitler juga mempunyai filsafat tentang kenegaraan.

Partai Politik
Apabila hendak meneliti lebih jauh tentang kepartaian, kita dapat membuka kembali sejarahnya. Kepartaian datang dari Inggris, yaitu secara parlementer*. Pada saat itu, raja di Inggris mempunyai kekuasaan mutlak, tidak terbatas. Itulah sebabnya, menurut pandangan masyarakat Inggris perlu diadakan pembatasan untuk mengisi perwakilan rakyat.

Partai Politik Islam
Sebenarnya partai politik Islam juga diambil dari Barat karena dalam Islam tidak dikenal politik. Sebelum menyadari bahwa dalam Islam tidak terdapat politik, dan wahyu itu sebenarnya terpisah dari gagasan manusia, kami berada dalam lingkungan kepartaian. Di Indonesia, partai politik Islam dimulai pada masa penjajahan dan pada masa awal kemerdekaan. Pada saat itu, para ulama tidak menunjukkan bagaimana cara perjuangan secara Islam sehingga kami terus berlarut-larut berada dalam partai politik Islam.

Pada tahun 1930-an, ketika berpropaganda ke mana-mana, kami memiliki semboyan bahwa jika tidak berpolitik, ummat Islam akan menjadi objek politik dari luar Islam. Kalau tidak masuk politik, ummat Islam akan dimakan politik. Inilah salah satu cara kami untuk menarik simpati ummat Islam. Pada waktu itu kami menjadi propagandis dari pengurus Besar Partai Islam Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta, Muhammad Natsir sebagai ketua cabang Bandung dan Isa Anshari sebagai propagandisnya, Prawoto Mangkusasmita sebagai ketua cabang di Jakarta, serta Abdul Gafar Ismail menjadi propagandis bersama kami di Yogyakarta.

Akan tetapi, setelah mendapat pengertian dengan takdir Allah subhanahu wa ta'ala bahwa wahyu Allah adalah murni dari firman Allah dan sabda-sabda Rasul-Nya, kami mendapat satu kesimpulan bahwa wahyu Allah itu nonpolitik.

Politik dalam Praktek
Setiap politik pasti memiliki pamrih dan pasti pula menghendaki sesuatu dari masyarakat yang ada. Dimana saja orang-orang yang berpolitik menyebar, mereka selalu diliputi ambisi yang sifatnya kekuasaan dan dunia semata-mata. Kalaupun kebetulan tidak mempunyai kekuasaan, mereka pasti berkeinginan untuk menggantikan atau menduduki fungsi dari pemerintahan yang ada.

Ini terjadi di mana saja, baik di dunia Barat ataupun Timur. Kekuasaan itulah yang menjadi ciri khas dalam praktik politik dan menjadi titik tujuan orang-orang yang berpolitik.

Dalam praktek politik, tidak pernah ada, misalnya, seorang politikus yang mengatakan bahwa ia menjalankan praktik politik karena Allah semata-mata. Bila ia ditanya “Apakah tujuan saudara berpolitik itu untuk mencari kekuasaan atau tidak? Oh, tidak, saya lillah.” Akan tetapi, dalam prakteknya, jawabannya itu tidak terbukti. Konsekwensi dari ilmu politik yang ada padanya, dia membuat suatu program politik yang dianggap lebih baik dari program politik yang sedang dilaksanakan penguasa pada saat itu.

Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa setiap unsur politik, baik yang mengaku muslim, nasionalis, atau komunis atau apapun namanya, semuanya bertujuan mencari kekuasaan dan tidak ada yang lillah.


--------------------------------------------------------------------------------

* Para ahli politik berbeda dalam memberikan definisi/batasan politik. Namun sasaran politik itu pada hakekatnya tertumpu pada negara dan kekuasaan. Prof. Mr. Dr. J. Barents alam bukunya, Ilmu Politik: Suatu Perkenalan Lapangan, 1953, halaman 19 (terjemahan LM. Sitorus) mengatakan, “Ilmu politik ialah ilmu yang mempelajari penghidupan negara. Ilmu politik diserahi tugas untuk menyelidiki negara-negara itu, sebagaimana negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya. W.A. Robson dalam The University Teaching of Social Sciences, menyebutkan, “Ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat ...”. Batasan ini sama dengan Deliar Noer dalam Pengantar ke Pemikiran Politik, yang menyebutkan, “Ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.” (Meriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta, 1983, halaman 10).

** Polis = Negara (berasal dari kata Yunani kuno), tetapi negara pada waktu itu masih merupakan kota, negara kota. Plato menamakan bukunya yang mengupas negara, “Politeia”, yang berarti soal-soal kenegaraan, sedang Aristoteles, Politica, yang artinya Ilmu kenegaraan, ilmu tentang polis. Dari situlah asal perkataan politik sekarang ini (Ensiklopedia Umum, Kanasius, 1977, halaman 896).

*** Socrates (469-399 SM), ahli filsafat Yunani purba, bapak ahli filsafat dunia yang mula-mula. Ia tidak meninggalkan sebuah buku karangan apapun dan mengakhiri hidupnya dengan hukuman minum racun, sedangkan riwayat hidupnya ditulis oleh muridnya, Plato.

Plato (427-347 SM) lahir di Athena. Karyanya di bidang politik berjudul “Republik” (mungkin yang paling termasyhur, pengungkapan tentang keadilan dengan gambaran suatu negara yang ideal).

Aristoteles (364-322 SM.), filosof Yunani dan ilmuwan, lahir di Stagira dan sering disebut Stagrite. Ia adalah salah seorang ahli pikir terbesar di sepanjang zaman. Bukunya tentang politik berjudul “Politica”.

Pada zaman Ma’mun Al Rasyid, dinasti Abbasiyyah, karangan Plato dan Aristoteles banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, tidak terkecuali mengenai politik (Everymans Encyclopaedia I, halaman 196, 467, XI: 17, X: 63-64; Ensiklopedia Indonesia, W. Van Hoeve, halaman 79, 80, 894, 1026, 1027).

* Asal mula ada kepartaian modern ialah di negeri Inggris pada abad ke-17. Negeri yang sejak fase kapitalisme sudah masak untuk stelsel parlementer (meski parlemen Inggris sebagai perwakilan kasta sudah ada lebih dahulu). Kepartaian modern yang lebih bersifat perorangan timbul dalam revolusi Perancis pada akhir abad ke-19, dan berkembang di negeri-negeri yang struktur ekonomi dan peradaban kotanya mempunyai bakat demokrasi massa (Boumann, Sociologie, Kanisius, 1966, terjemahan Sugito-Sujitno, halaman 66).

Hubungan Jama’ah dengan nama Hizbullah

Hubungan Jama’ah dengan nama Hizbullah


Sekilas penjelasan tentang hubungan antara Jama’ah dan Hizbullah adalah Gerakan Islam “Hizbullah” berbentuk Jama’ah. Hizbullah bukanlah partai, yang biangnya berasal dari masyarakat Inggris, kemudian berkembang biak ke seluruh Amerika Serikat lalu menyusup ke negeri-negeri jajahan Barat, termasuk Indonesia pada masa pejajahan Hindia Belanda.

Untuk menghindari kesalahpahaman pengertiannya, kami akan menjelaskan penggunaan kata Hizbullah oleh sebagian kaum muslimin di Indonesia, khususnya kaum muslimin yang berada di pulau Jawa, sekaligus untuk mengetahui waktu dan perjuangan yang tepat dari Hizbullah. Bagi mereka yang belum memahami arti Hizbullah, dalam benaknya akan terbayang laskar atau tentara. Sebab, kata atau sebutan Hizbullah pernah dipergunakan sebagaimana laskar dalam perjuangan secara fisik melawan serdadu penjajah Belanda dan Inggris. Bahkan, pada akhir kekuasaan bala tentara pendudukan Jepang di Indonesia di samping pasukan-pasukan Pembela Tanah Air (PETA), ada juga kader-kader inti yang mendapat latihan di Cibarusa, Bogor, khusus bagi para pemuda Muslimin, yang diberi nama Hizbullah. Seorang di antara pelatihnya, kalau kami tidak khilaf, adalah Mr. Kasman Singodimedjo dari PETA. Karena itulah, pengertian Hizbullah selalu dibayangkan sebagai laskar atau tentara.



Hizbullah pada Akhir Masa Kolonial Belanda
Pada Perang Dunia I (1914-1918), Belanda lebih suka untuk tidak terlibat dalam kancah peperangan dan bersikap netral. Namun, dalam Perang Dunia II (1939 –1945), negeri ini ikut terlibat walaupun mereka lebih suka bersikap netral.

Pada perang dunia II, strategi Jerman di bawah pimpinan kaum Nazi, Hitler, mempergunakan taktik perang kilat. Secara mendadak pasukan Jerman menyerbu teritorial kerajaan Belanda, kemudian meneruskan ke wilayah Belgia secara cepat, kemudian wilayah perang Perancis, dan bila mungkin, menyeberangi Selat Kanal untuk menyerbu wilayah Inggris.

Karena tidak siap berperang, lagi pula kalau dibanding dengan lawannya, negeri Belanda hanyalah merupakan satu negeri yang kerdil saja, dalam waktu lima hari saja, Belanda menyerah kalah. Kerajaan Belanda tidak lagi terdapat di daratan Eropa. Pemerintahnya lari ke sahabat kentalnya, yaitu Inggris. Kapal perang dan kapal dagangnya yang dapat diselamatkan, dilarikan ke perairan-perairan tetangganya. Selama berkecamuknya Perang Dunia ke-II, tenaga lautan Belanda itu berada di bawah komando Inggris. Wilayah Belanda yang tertinggal hanya di negeri-negeri jajahannya, yaitu Hindia Belanda, Indonesia sekarang, dan Suriname.

Dalam situasi seperti itu ditambah bayangan menggelembungnya suasana perang di lautan Pasifik, karena Angkatan Darat Jepang telah berada di daratan Cina menuju Selatan, pemerintah Hindia Belanda semakin gelisah, cemas, dan diliputi banyak penyesalan. Mereka merasa sesak napas, tidak terkecuali orang-orang yang berada di Indonesia sebagai tanah jajahannya, bila Hindia Belanda terseret dalam kancah peperangan, dapatkah Hindia Belanda dipertahankan? Politik kolonial Belanda yang sangat kolot dan benar-benar reaksioner tidak memungkinkan mereka untuk merasa aman dan tenteram lahir dan batin, apalagi menghadapi perang dunia secara langsung. Selain itu, pribadi Belanda yang berkulit hitam maupun berkulit putih, tidak dibangun untuk menghadapi musuh luar negeri, melainkan hanyalah menumpas perlawanan penduduk belaka, sekiranya itu terjadi.

Jadi, Belanda sama sekali tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berhadapan dengan kekuatan bala tentara Jepang. Belanda dalam situasi sangat kritis. Rakyat Indonesia sendiri, yang sekian lama hidup dalam penindasan serta pemerasan Belanda, tidak dapat diandalkan untuk membantu mereka.

Patut dicatat, bahwa setiap pemerintahan yang tidak pandai dan tidak memperhatikan nasib rakyat banyak, tidak mencerminkan ketulusan hati nurani, apalagi jika beritikad buruk dengan tindakan zhalim, kejam, kekerasan, dan menindas, lebih buruk lagi jika rakyat dianggap sebagai musuh, maka lambat atau cepat akan ditinggalkan oleh rakyatnya.

Karena itu menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah untuk membekukan segala perjuangan rakyat, terutama dalam bidang politik, termasuk larangan mengadakan rapat-rapat atau pertemuan. Saat-saat akhir sejarah kolonial Belanda itulah, pengertian Hizbullah untuk pertama kalinya kami dengar, namun baru diberikan maknanya secara ringkas, yaitu kaum yang berpihak kepada Allah. Kami mengimani dan sekuat tenaga untuk mengamalkan maksud-maksudnya. (Hizbullah adalah kaum yang berpihak kepada Allah, termaktub dalam Al-Qur`an, surat Al-Mujadalah ayat 22 dan Al-Maidah ayat 56).

Kami mendengar kata Hizbullah dari Syeikh Muhammad Ma’sum, ahli hadits di Yogyakarta, dalam suatu silaturrahmi di kediaman Ustadz Abdul Gaffar, yang ketika itu menjabat Direktur Madrasah Mu’alimin Wal Fajri di Karangkajen, Yogyakarta. Selain ketiga orang tersebut (Wali Al-Fattaah, Muhammad Ma’sum dan Abdul Gaffar/pen), ada pula ikhwan lainnya, di antaranya ustadz Suhadi, ayah dr. R.H. Su’dan dan Muhammad Ma’sum seorang awam biasa yang sangat gigih berjuang untuk Islam.

Sekiranya pertemuan tersebut diketahui oleh pihak kepolisian Belanda, kemudian digerebeg karena dianggap melanggar peraturan (Belanda) yang melarang rapat atau pertemuan, walaupun pengajian yang termasuk tugas dien, kami sudah memiliki jawabannya, bahwa kami adalah Hizbullah, kaum yang berpihak kepada ALLAH subhanahu wa ta'ala. Pada waktu itu pengertian yang lebih luas atas kata Hizbullah belum diberikan, demikian juga tentang dalil-dalilnya. Akan tetapi, alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ketika kolonialisme Belanda mengakhiri sejarahnya di Indonesia, Hizbullah tidak mendapat kesulitan apa pun. Peraturan larangan mengadakan pertemuan-pertemuan oleh pihak Belanda tetap ada, tetapi karena Allah dan pertolongan-Nya, Hizbullah secara rutin mampu mengadakan pertemuan yang sifat serta isinya pengajian-pengajian.

Itulah pokok perkenalan kita untuk pertama kalinya dengan kata Hizbullah, yang selanjutnya, Insya Allah kita termasuk pula di dalamnya. Masya Allah, la haula wa la quwwata illa billah!



Hizbullah pada Zaman Jepang
Perkenalan kedua kali dengan kata Hizbullah terjadi pada saat-saat akhir masa pembentukan bala tentara kerajaan Jepang yang bernama Hizbullah. Bala tentara ini mendapat latihan kemiliteran di Cibarusa Bogor.

Kata Hizbullah pertama kalinya diusulkan kepada pemerintah pendudukan bala tentara Jepang di Jawa yang berkedudukan di Jakarta, gunsei kanbu. Pada saat itu, Hizbullah diusulkan sebagai nama pasukan beranggotakan para pemuda muslimin yang hendak dibentuk. Tujuannya adalah setelah runtuhnya kekuasaan kerajaan Jepang dalam Perang Dunia II, dalam menghadapi negara-negara sekutu, khususnya Amerika Serikat, kaum muslimin hendaknya tidak tinggal diam, bahkan bila mungkin memelopori untuk mengangkat senjata. Pada saat itu mulai terbayang usaha meneruskan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Delegasi yang dikirim oleh Hizbullah untuk memajukan konsepsi serta gagasannya kepada gunsei kanbu ialah kami sendiri disertai Ustadz Sulaiman Masulili atau Penawi Tengah, yang kini masih berada di tengah-tengah kita dan tinggal di Jakarta.*

Pada waktu itu kami tidak mengungkapkan maksud dibentuknya Hizbullah, sebab, bila maksud sepenting itu telah tercium oleh pihak Jepang, dapat diperkirakan, bahwa usulan itu bukan hanya ditolak, bahkan tidak mustahil kami akan dijebloskan ke dalam penjara. Hal ini karena rezim fasisme Jepang yang sangat agresif itu sedang kalap karena terjepit oleh pihak musuhnya, terutama pihak Amerika Serikat sehingga kami akan dianggap meremehkan kekuatan mereka. Di samping itu, mereka merasa khawatir bila kami akan meneruskan perjuangan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa Indonesia yang umumnya terdiri dari kaum muslimin.

Alhamdulillah, selama pendudukan bala tentara Kerajaan Jepang di Indonesia, kami dalam keadaan aman dan usulan kami pun disetujui. ini terbukti dengan adanya latihan-latihan kader inti di Cibarusa, Bogor.




Hizbullah pada Masa Kemerdekaan
Perkenalan ketiga dengan kata Hizbullah terjadi beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekan Indonesia, yakni dengan adanya hasil keputusan Muktamar Umat Islam di Aula Mu’alimin Karangkajen, Yogyakarta. Ketika itu diputuskan untuk membentuk organisasi Masyumi pada tanggal 7 November 1945 M, yang kemudian beralih menjadi partai politik.

Kata Hizbullah dipergunakan sebagai nama laskar Masyumi, yang terdiri para pemuda muslimin, yang berniat mengusir fitnah penjajahan dengan mengangkat senjata secara fisik. Di samping itu, ada pula laskar lain dari berbagai golongan yang menggunakan nama Hizbullah.

Kata Hizbullah sebagai nama laskar yang berjuang secara fisik terus berjalan, hingga terjadinya penyatuan semua laskar yang ada, dengan dibentuknya tentara resmi dari Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan satu ketentaraan saja.




Hizbullah, Kaum yang Berpihak kepada ALLAH.

Setelah mengenal kata Hizbullah dengan makna, pertama sebagai suatu “kaum yang berpihak kepada Allah subhanahu wa ta'ala”. Kedua, sebagai “kader inti ketentaraan “ yang mendapat latihan Jepang di Cibarusa, Bogor. Ketiga, sebagai nama laskar dari pemuda-pemuda Muslimin yang berjuang secara fisik pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Kini tibalah saatnya untuk mengenal kalimat Hizbullah, yang sejak 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M.) hingga sekarang ini berada dalam suatu gerakan Islam dengan nama dan makna yang satu, yaitu suatu kaum yang berpihak kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam kitab suci Al-Qur`an,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(54)إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ(55)وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ(56)

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu murtad dari dien-Nya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia ridlai mereka dan mereka pun ridla kepada-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap mukminin dan keras tegas terhadap kafirin. Mereka bersungguh-sungguh di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan manusia yang mencela, demikian itu ialah nikmat Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki, karena Allah itu Mahaluas pemberian-Nya lagi Mahamengetahui. “Sesungguhnya pimpinan kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan mukminin yang menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat dan mereka ruku, tunduk kepada perintah Allah. “Dan barang siapa menjadikan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai pimpinan, maka sesungguhnya itulah Hizbullah - Kaum yang berpihak kepada Allah - Hizbullah itulah yang jaya.’’ (QS. Al-Maidah: 54–56)

Selanjutnya kata Hizbullah juga disebutkan dalam surat Al-Mujadalah, ayat 21-21:

كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ(21)لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(22)

“Allah telah menetapkan, sesungguhnya kejayaan itu bagi-Ku dan Rasul-rasul-Ku. Sesungguhnya Allah itu Mahakuat lagi Mahaperkasa. Tidak engkau dapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian itu saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka. Mereka (orang yang beriman) itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan iman ke dalam hati mereka, dan Allah menguatkan mereka dengan ruh daripada-Nya, dan memasukkan mereka itu ke dalam Jannah, yang mengalir air sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridla kepada mereka dan mereka ridla kepada-Nya. Mereka itulah Hizbullah –kaum yang berpihak kepada Allah. Ketahuilah bahwasanya Hizbullah itulah yang mendapat kebahagiaan.” (QS. Al-Mujadalah: 21–22)

Adapun kebalikan Hizbullah disebutkan dalam surat Al-Mujadalah ayat 19 - 20:

اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُون َ(19) إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ فِي الْأَذَلِّينَ(20)

“Setan telah berkuasa atas mereka, lalu ia jadikan mereka lupa mengingat Allah, mereka itu adalah Hizbusysyaithan. Ketahuilah sesungguhnya Hizbusysyaithan itulah orang-orang yang merugi. Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka dalam golongan orang-orang yang sangat hina.” (QS. Al-Mujadalah: 19 – 20)

Semua dalil di atas telah menjelaskan arti atau makna Hizbullah dengan gamblang. Hizbullah bukanlah suatu laskar, bukan pula suatu partai politik atau perserikatan dan perkumpulan biasa, juga bukan semacam dewan-dewanan yang lahir dari karya pikir manusia. Hizbullah adalah suatu kaum atau umat yang berpihak, tunduk, patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah Al-Jama’ah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka itulah Jama'ah Muslimin, Insya Allah. Allahumma Amin.

Untuk mengetahui bagaimana roh Hizbullah yang pertama kali diperkenalkan di gedung Adhuc Staat, Jalan Taman Surapati nomor 1. Menteng Raya Jakarta (sekarang gedung Bappenas), pada hari raya Iedul Adha, 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), berikut ini dicantumkan ringkasnya:

Hizbullah berpedoman pada Al-Qur`an dan Sunnatu Rasulillah. Hizbullah berjuang karena Allah, dengan Allah, untuk Allah, bersama-sama segenap kaum muslimin menuju mardlatillah.

Dalam menghadapi suasana yang makin bergolak, Hizbullah menetapkan langkah-langkah asasi (strategis) sebagai berikut:

Pandangan, pendirian, dan sikap hidup muslim: Yakin, bahwa berpegang teguh dan taat melaksanakan pedoman Al-Qur`an dan Sunnatu Rasulillah adalah sumber segala kejayaan dan kebahagiaan.

Ukhuwah islamiyyah: Kesatuan bulat bagi seluruh muslimin yang tidak dapat dibagi-bagi, dipisah-pisahkan, apalagi diadudombakan, sebagai perwujudan ukhuwah islamiyah, baik dalam kemudahan atau dalam kesukaran dan perjuangan.

Kemasyarakatan: Berpihak pada kaum dlaif (lemah, tertindas, teraniaya), menegakkan keadilan.

Sikap terhadap lain-lain golongan: Tegak berdiri dalam lingkungan kaum muslimin di tengah-tengah antar golongan, menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada kebajikan dan mencegah perbuatan munkar.

Antara bangsa-bangsa: Menolak setiap fitnah penjajahan dan kezhaliman suatu bangsa atas bangsa lain, dan mengusahakan ta’aruf antarbangsa.





--------------------------------------------------------------------------------

* Ahmad Sulaiman Masulili wafat pada hari Selasa, 16 Dzulqa’dah 1409 H/Senin 19 Juni 1969 M. di Cempaka Putih, Jakarta, jam 16.15 wib. Beliau lahir di Luwuk, Sulawesi Selatan, 1 Juli 1916 M

Hizbullah

Tarikh Ditetapinya Kembali Jama’ah Muslimin (Hizbullah)



Pada awal tahun 1950-an, kubu-kubu masyarakat di Indonesia, baik muslim maupun nonmuslim, gemar mendirikan banyak partai, sebagai pelaksanaan teori kepartaian yang disebut sistem banyak partai (multipartai stelsel). Para pemuka muslimin umumnya beranggapan bahwa satu-satunya alat untuk menghimpun muslimin dalam usaha meraih cita-cita mereka, hanyalah dengan penerapan sistem kepartaian, yang bayi pertamanya lahir dari pangkuan masyarakat Inggris.

Adapun menghimpun masyarakat Islam dengan sistem Jama’ah dan Imamah masih terpendam dan dilupakan dari alam pikiran mereka. Orang dapat meletakkan segala kesalahan itu di atas pundak para ulama karena tidak mengungkapkan pengertian Jama’ah dan Imamah menurut syari’at Islam kepada khalayak ramai, terutama kepada para santrinya yang kelak akan menjadi pemuka ummat. Akan tetapi, kalau diselidiki secara lebih mendalam, ada beberapa sebab yang menghalanginya sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tak mungkin dapat dilaksanakan, yaitu:

Adanya guru ordonansi pada zaman Hindia Belanda yang mewajibkan ulama untuk minta izin dulu kepada penguasa sebelum mereka memberikan pelajaran agama kepada muridnya.

Adanya penyaringan dalam menentukan pelajaran-pelajaran yang boleh dan tidak boleh diajarkan.

Adanya pengertian, terutama dari golongan orientalis, bahwa masalah Jama’ah dan Imamah tergolong satu bab dalam bidang politik. Akibatnya, apabila bab tersebut diajarkan kepada para pelajar di pondok pesantren, pondok pesantren yang bersangkutan akan ditutup oleh pihak penjajah.

Ada dalam genggaman Allah subhanahu wa ta'ala semata, segala qudrat dan iradat yang Allah miliki.

Keempat sebab tersebutlah yang menjadi alasan utama para ‘alim merasa terbelenggu untuk memberikan pelajaran tentang beberapa bab dienul Islam, termasuk bab Jama’ah dan Imarah atau Imamah, bab jinayat, dan babul jihad. Juga beberapa kitab tentang Islam yang dicetak di luar negeri yang dapat membuka mata hati kaum muslimin dan membangkitkan roh Islam untuk melawan kezhaliman serta menyingkirkan fitnah penjajah. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda tidak segan-segan untuk melarangnya.

Iklim kolonial yang dirasakan sangat mencekam jiwa para alim itu pula yang akhirnya menghasilkan suatu akibat besar yang merugikan kaum muslimin. Sebab, para pemuka ummat waktu itu, bahkan setelah Indonesia merdeka, diliputi kabut gelap yang cukup kelam dalam memahami arti Jama’ah dan Imamnya sepanjang syari’at Islam, yang berlandaskan dalil-dalil qath’iy dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah.

Ketika kami perdengarkan gerakan Islam yang disebut Hizbullah berbentuk Jama’ah dan Imamnya pada 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), reaksi pertama yang muncul dari para alim itu ialah sikap acuh tak acuh dan secara sinis mereka berkata, “Wah, apa-apaan pak Wali ini. Kita mau dibawanya kemana? masa kita mau dibawa kembali ke zaman unta?” Astaghfirullah. Seandainya sikap itu diucapkan oleh seorang ateis/komunis, bahkan dengan sikap yang lebih buruk daripada sikap itu, dapat kita pahami. Akan tetapi, reaksi tersebut justru muncul dari orang yang lidah dan bibirnya pernah digerakkan untuk mengucapkan kalimat syahadat, bahkan tergolong dalam barisan kader inti salah satu partai politik Islam.

Sekalipun demikian, kalangan Hizbullah menyambut reaksi tersebut dengan senyum. Hizbullah sama sekali tidak marah, selain mengucapkan istighfar.

Bagaimana pula reaksi para kader inti tersebut apabila mendengar salah satu atsar dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, yang menegaskan bahwa:

إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ {رواه الدارمي: 1/79}

“Sesungguhnya tidak ada Islam melainkan dengan Jama’ah, dan tiada Jama’ah melainkan dengan Imarah, dan tiada Imarah melainkan dengan taat.” (H.R. Ad Darimy dari Ad Daary. Sunan Ad Darimy, bab Fi Dzihabil ‘Ilmi, Darul Fikr, Kairo, Msir, 1398 H/1976 M. Juz 1 halaman 79).

Akankah ia membantah ucapan ‘Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu itu? Masihkah mereka bersikap acuh tak acuh serta melontarkan kata-kata sinis? Apakah tindakan ‘Umar bin Khaththab, seandainya beliau masih berada di tengah-tengah kita? Mudah-mudahan mereka akan mendapat maaf karena memang belum mengerti.

Untuk lebih memantapkan pengetian tentang Jama’ah dan kepentingannya bagi ummat manusia, khususnya bagi muslimin, perhatikan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

أَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَبِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى أَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَا جَهَنَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى قَالَ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِمَا سَمَّاهُمُ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {رواه أحمد}

“Aku perintahkan kepada kamu sekalian (kaum muslimin) dengan lima perkara, sebagaimana Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara, yaitu berjama’ah, mendengar, taat, hijrah dan berjihad fie sabilillah. Barang siapa yang keluar dari Al Jama’ah sekadar sejengkal, sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali (tobat). Dan barang siapa yang menyeru dengan seruan jahiliyyah, ia termasuk orang yang bertekuk lutut dalam Jahanam.”Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, jika dia shaum dan shalat dan mengaku dirinya muslim? Sekalipun dia shaum dan shalat, serta mengaku dirinya seorang muslim. Maka panggilah olehmu orang-orang muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka, “Al Muslimin, Al Mukminin, hamba-hamba Allah azza wa jalla.” (HR.. Ahmad dari Harits Al Asy’ari. Musnad Ahmad, juz 4 halaman 202, At Tirmidzi, Jami’ush Shahih, Kitabul Amtsal, bab maa ja-a fi Matsalish Shalati wash-Shiyami wash-Shadaqati, juz 5 halaman 148-149 hadits nomor 2863).

dan beliau bersabda :

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه مسلم}
“Barang siapa yang keluar dari tha’at dan berpisah dari Al-Jama’ah, lalu mati, maka matinya itu laksana mati jahiliyyah.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah. Shahih Muslim, Babul ‘Amri bi luzumil Jama’ah inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 135).

Dalam Riwayat Bukhari disebutkan:

فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه البخاري عن ابْنَ عَبَّاسٍ}
“Maka sesungguhnya barang siapa yang berpisah dari Al-Jama’ah sekadar sejengkal saja, kemudian ia mati, melainkan matinya seumpama mati jahiliyyah.” (HR. Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Qaulin Nabi satarauna ba’di umurun tunkirunaha, juz 4 halaman 222).

Dari kedua hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini saja, ditambah dengan atsar dari ‘Umar bin Khaththab, Insya Allah, telah cukup jelas betapa rapat, memadat, dan pentingnya hubungan antara Jama’ah dengan Al-Islam sebagai ad-dien dan muslimin.

Ditetapinya Kembali Wadah Kesatuan Muslimin

Kepemimpinan Muslimin

Kepemimpinan Muslimin dari Masa ke Masa Sejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

"Dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah bin Yaman radliallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adlan), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah)”. Kemudian beliau (Nabi) diam.”

(H.R. Ahmad dan Al Baihaqi. Misykatul Mashabih: Bab Al Indzar wa Tahdzir, Al Maktabah Ar Rahimiah, Delhi, India. Halaman 461. Musnad Ahmad, juz 4, halaman 273).

----------------------------------------------------------------------------------
Zaman Kenabian
Pada zaman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kaum muslimin berada dalam satu Jama’ah dan Imamah. Mereka hidup kompak di bawah pimpinan Allah dan Rasul-Nya.

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mendirikan perkumpulan, perserikatan, atau partai, apalagi negara, untuk mengamalkan wahyu Allah yang disampaikan kepada beliau. Setelah wahyu diterima, beliau mengamalkannya dan mendakwahkan kepada ummat manusia.

Kaum muslimin pun, memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti beliau. Dengan berjama’ah mereka mengamalkan wahyu Allah dan mengikuti perbuatan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Orang pertama yang memenuhi seruan Rasulullah ialah isteri beliau, Khadijah, dari kalangan wanita, Abu Bakar dari kalangan pria, serta Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah dari kalangan pemuda.

Jumlah kaum muslimin dan muslimat semakin hari semakin bertambah banyak, termasuk sahabat-sahabat besar, seperti Utsman bin Affan, Hamzah Bin Abdul Muthalib, Umar bin Khaththab, dan lain-lain.

Kaum muslimin yang mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan jama’ah pertama, Jama’ah Muslimin yang langsung dipimpin oleh beliau sendiri.

Masa kepemimpinan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kehidupan berjama’ah bersama kaum muslimin kurang lebih selama 23 tahun.

-----------------------------------------------------------------------------------
Zaman Khilafah

Zaman Khilafah dimulai sejak wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin, Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhum.

Mereka adalah para Khalifah yang dibenarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai Khalifah yang mendapat petunjuk yang benar dari Allah. Bahkan, Rasulullah berwasiat kepada kaum muslimin agar berpegang teguh pada Sunnahnya dan Sunnah Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin. Rasulullah bersabda:
“Aku berwasiat kepada kamu agar tetap bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun yang memimpinmu adalah seorang budak Habsyi, karena orang yang hidup di antara kamu di kemudianku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, hendaklah kamu berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin (para khalifah yang mendapat petunjuk yang benar). Hendaklah kamu pegang teguh dengannya dan gigitlah dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara yang baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan itu bid‘ah dan semua bid’ah adalah sesat.” (H.R. Ahmad dari Irbadl bin Sariyah. Musnad Ahmad, juz 4, halaman 126-127; Sunan Abu Dawud, Kitabus Sunnah, juz 4, halaman 200-201, hadits nomor 4607; Sunan At-Tirmidzi, Jami’ush Shahih, Kitabul Itsmi, bab Maa Ja-a fil Akhdzi bis Sunnati wajtinabil bida’i, juz 5, halaman 44, hadits nomor 2676).

Sebagaimana halnya pada masa kepemimpinan Rasulullah Shalallahu alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin (11-40 H/632-661M) pun hidup kompak dan berjama’ah di bawah satu pimpinan.

Mereka tampil sebagai sebaik-baik ummat yang dibangkitkan untuk sekalian manusia, hidup berjama’ah dengan satu pimpinan (Imam) yang memimpin ke arah taqwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib terjadi peristiwa yang menyebabkan keduanya menemui syahid. Peristiwa ini mengandung pelajaran bagi kaum muslimin agar tidak terjadi lagi.

Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin berkisar selama 30 tahun, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
“Khilafah pada ummatku adalah tiga puluh tahun, selanjutnya adalah Kerajaan.” (H.R. Abu Daud dari Safinah. Sunan Abu Dawud, Kitabus Sunnah, bab fi al Khulafau, Al-Maktabah Dahlan Indonesia, juz 4, halaman 211, hadits nomor 4646, 4647)

------------------------------------------------------------------------------------
Zaman Mulkan
Setelah berakhirnya zaman Khilafah -yang menempuh jalan kenabian dengan kehendak Allah subhanahu wa ta'ala, kaum muslimin memasuki zaman Mulkan Adlan (kerajaan yang menggigit) dan Mulkan Jabariyyah ( kerajaan yang menyombong)*.

Pada kedua zaman ini, kaum muslimin maju pesat dan penyebaran Islam pun meluas ke seluruh Jazirah Arabia, Asia Selatan, Afrika dan sebagian Eropa, namun mulai terjadi keretakan di dalam. Kepemimpinan secara Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang diikuti Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin, mulai terhapus dan berganti dengan kepemimpinan secara turun-temurun (Kerajaan). Kesatuannya bukan lagi berbentuk Jama’ah, tetapi Mulkan (Kerajaan). Pada zhahirnya, kaum muslimin masih berada di bawah satu pimpinan, sampai Mulkan Adlan dan Mulkan Jabariyyah dihapuskan Allah subhanahu wa ta'ala.

Menurut tarikh, setelah syahidnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abi Sufyan tampil memimpin muslimin dan dialah yang merubah kepemimpinan muslimin menjadi Kerajaan. Dia menjadi Raja pertama dari keturunan Umayyah datuknya. Dalam sebuah atsar dari Abdurrahman bin Abi Bakrah disebutkan, bahwa Muawiyyah berkata pada Abi Bakrah: “Apakah kamu mengatakan kami Raja?, maka kami sungguh ridla denganRaja.” (Musnad Ahmad, juz 5, halaman 50, Fathur Rabbany, juz 23, halaman 13). Muawiyyah memegang kendali kepemimpinan muslimin dari 41-60 H (661-680 M), kemudian diteruskan oleh puteranya, Yazid, lalu diteruskan oleh turunan bani Umayyah lainnya sampai Raja terakhir, Marwan bin Muhammad bin Marwan (126-131 H/744-750 M), yang dilenyapkan oleh Abu Abbas As Saffah. Keturunan Umayyah, Abdurrahman ad Dakhiliy melarikan diri ke Andalusia, Spanyol dan meneruskan Mulkan bani Umayyah di sana dari 137-422 H (756-1031 M). Abu Abbas As Saffah, anak Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib, mendirikan Mulkan Abbasiyyah (132-656 H/750-1258 M) di Irak dengan Baghdad sebagai ibukotanya. Raja terakhir dari Mulkan ini, Al Mu’tashim (640-656 H/1242-1258 M). Mulkan Abbasiyyah terhapus dengan datangnya bala tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu yang membumihanguskan Baghdad.

Keturunan Abbasiyyah lari ke Mesir dan meneruskan Mulkan Abbasiyyah di bawah pengaruh dinasti Mameluk Syarakasah di Kairo dari 659-923 H (1261-1517 M) sampai akhirnya Kerajaan Mameluk ditaklukkan oleh Sultan Salim dari Turki dan menawan Mutawakil ‘Alallah, keturunan Abbasiyyah terakhir yang menggunakan sebutan Khalifah, dan membawanya ke Istanbul. Setelah lenyapnya dinasti Abbasiyyah di Irak, maka menurut hadits Nabi, datang Mulkan Jabariyyah, dan berdasarkan tarikh, kepemimpinan muslimin setelah Abbasiyyah adalah Mulkan Utsmaniyyah., yang memegang kendali pimpinan ummat Islam dari 669-1342 H/1300-1924 M, dengan pusatnya di Istanbul (Turki). Kerajaan ini seperti juga pada zaman Mulkan Adlan menggunakan sebutan Khalifah, mulai Sultan Salim I (Sulaiman I) menduduki Mesir dan membawa keturunan Abbasiyyah terakhir yang memakai gelar Khalifah, Mutawakkil ‘Alallah, ke Istanbul, sampai Mulkan Utsmaniyyah terhapus pada tahun 1342 H (Maret 1924 M), setelah lebih dahulu pada 1 Nopember 1922 M Sultan Muhammad IV diturunkan dari tahtanya oleh Turki Muda Nasional pimpinan Muthafa Kemal Pasya (H. Abdul Halim Hasan, Tarich Tamaddun Islam, cet. Ke-3, 1940, Islamiyyah Medan, halaman 181, 188, 189; Adinegoro, Ensiklopedia Umum dalam bahasa Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1954, halaman 11, 12, 13, 195, 196; H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden. E.J. Brill, 1953 M, halaman 238; Ensiklopedia Umum, halaman 213; Everyman’s Encyclopaedia, J.M. Dent & Sons, London, Volume II, halaman 760)

-------------------------------------------------------------------------------------
Kembali ke Zaman Khilafah
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan bahwa kaum muslimin akan kembali berada pada zaman Khilafah yang mengikuti jejak kenabian sebagaimana fase kedua, yaitu setelah diangkatnya fase keempat, Mulkan Jabariyyah.

Ini berarti bahwa harapan kaum muslimin untuk menikmati hidup berjama’ah dan berimamah yang menyebabkan terjalinnya ruhama (kasih sayang) antara sesama muslim, masih terbuka lebar. Setelah itu, “tsumma sakata”, Nabi diam.

Dari keseluruhan sejarah yang telah disebutkan di atas, tampak bahwa kaum muslimin, dari zaman ke zaman, berada di bawah satu pimpinan. Oleh karena itu, Imamah harus tetap ada.

Pembai’atan Abu Bakar Ash Shidiq yang dilakukan sebelum jenazah Rasulullah dikebumikan, memberi pengertian bahwa masalah kepemimpinan bagi kaum muslimin sangat fundamental (asasi). Kaum muslimin yang mengikuti Nabi dan mengakui kepemimpinan beliau serta Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin, merupakan satu Jama’ah Muslimin dengan satu Imam. Mereka telah mencapai tingkat dan martabat yang paling tinggi dan mulia di dunia, dan Insya Allah di akhirat, dalam kehidupan berjama’ah dengan bimbingan Allah dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta'ala menyatakan dalam firman-Nya, bahwa mereka adalah sebaik-baik ummat, menyeru pada kebaikan, mencegah kemungkaran serta beriman kepada Allah. (QS. Ali ‘Imran: 10)

Akan tetapi, laksana meteor yang jatuh ke bumi, cahaya cemerlang itu tidak beredar lama. Lebih kurang setengah abad saja -23 tahun masa kepemimpinan Rasulullah ditambah masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin Allah menyinarkan hamba-hamba-Nya sebagai sebaik-baik ummat yang dibangkitkan untuk sekalian manusia dan menjadi suri teladan bagi muslimin yang hidup kemudian. Siapa yang dapat mengambil manfaat dari padanya, dialah yang mengerti isyarah dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Menurut tinjauan ad dien dan tarikh Islam, pimpinan terbaik yang bersifat sentral, sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sampai Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin hingga tahun keempat puluh hijrah, adalah pada masa Khalifah Abu Bakar Ashidiq, Umar Bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

----------------------------------------------------------------------------------
Usaha Penyatuan Muslimin setelah Keruntuhan Utsmaniyyah



Usaha penyatuan muslimin kembali setelah keruntuhan Utsmaniyyah, yaitu setelah Perang Dunia I, pernah dilakukan oleh kaum muslimin. Di India, Syaukat Ali dan saudaranya, Muhammad Ali, berusaha untuk mengisi kevakuman kepemimpinan muslimin, yang disebut oleh pihak Barat sebagai, “Gerakan mendirikan khilafah kembali (Khilafah Movement)*.” Akan tetapi, karena pemahamannya politik, usaha tersebut menemui jalan buntu. Di Indonesia, usaha gerakan penyatuan muslimin dilakukan oleh pemuka kaum muslimin bersama Wali Al Fattaah. Akan tetapi bersifat temporer. Inisiatif dari H Oemar Said Tjokroaminoto (1299-1352 H/1882-1934 M), dalam satu kongres yang bersifat Nasional di Surabaya pada bulan Jumadil Awal 1343 H/Desember 1924 M. Hal ini menunjukkan adanya satu rasa penyatuan muslimin. Usaha tersebut diikuti dengan pengiriman utusan muslimin Indonesia ke Kongres Islam sedunia di Mekkah, Saudi Arabia, pada bulan Dzulqa’dah 1334 H (Juni 1926) atas prakarsa Raja Ibnu Sa’ud**.

Utusan dari Indonesia adalah Oemar Said Tjokroaminoto dari Syarekat Islam dan K. H. Mas Mansur dari Muhammadiyah. Keduanya menghadiri kongres tersebut bersama peserta muslimin dari berbagai negeri Islam dan hadir pula saat itu Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka*.

Akan tetapi, usaha kongres tersebut lagi-lagi mengalami kebuntuan karena para peserta terkesan memusyawarahkan masalah politik. Hal ini ditolak Saudi Arabia yang menegaskan bahwa kongres tersebut hanya membicarakan masalah Islam dan muslimin, bukan politik. Akhirnya, para peserta kongres pun pulang ke tanah airnya masing-masing dengan tidak berhasil mewujudkan apa yang menjadi cita-cita mereka.

Segala usaha tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengisi kevakuman kepemimpinan setelah berakhirnya Mulkan Utsmaniyah. Hal yang menunjukkan, bahwa ummat Islam lazimnya memiliki pimpinan dalam menghadapi dunia Barat atau Timur dan tujuan politik lainnya. Akan tetapi alasan-alasan itu tidaklah kuat. Alasan yang kuat adalah kehendak untuk melaksanakan Islam secara kaaffah dalam memenuhi perintah Allah berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang terlepas sama sekali dari ikatan dan tujuan politik.
-------------------------------------------------------------------------------------
* Pada tahun 1337 H (1919 M) dibentuk Gerakan “All India Khilafat Conference” di India oleh beberapa pemimpin muslimin India. Gerakan ini secara tetap mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membicarakan dan mengusahakan tegaknya kembali kekhilafahan. Selain melakukan penyelamatan kekhilafahan, perjuangan gerakan ini juga ditujukan kepada pengusiran Inggris dari India. Pada waktu itu Inggris menduduki negeri-negeri muslim di Timur Tengah umumnya dan khususnya melakukan penindasan di India. Harapan pertama gerakan Khilafat itu tertumpu pada kebijaksanaan Musthafa Kemal Pasya. Setelah mengadakan dua kali Konferensi –pertama di New Delhi, India, pada bulan Shafar 1338 H/23 November 1919 M), dan ke dua di Karachi, Syawal 1339 H/Juli 1921 M, yang antara lain menyanjung Musthafa Kemal Pasya. Akhirnya harapan gerakan tersebut hancur sesudah Musthafa Kemal Pasya menghapuskan Khilafah (yang digunakan Mulkan Utsmaniyyah) sama sekali di Turki, pada 4 Rajab 1342 H (3 Maret 1924 M). Harapan kemudian ditujukan kepada Abdul Azis bin Sa’ud (1297-1372 H/1880-1953 M), sebelum seluruh Jazirah Arabia jatuh ke tangannya dari Hussein bin Ali, tetapi kembali gagal. Sesudah itu gerakan ini tidak terdengar lagi kegiatannya hingga Syaukat Ali dan Muhammad Ali menghadiri Kongres Islam se dunia di Makkah pada tahun 1344 H (1926 M). Dalam pada itu diselenggarakan kongres Khalifah di Cairo, Mesir, 1-7 Dzulqa’dah 1344 H (13-19 Mei 1926 M) yang diprakarsai oleh para Ulama Al-Azhar. Tetapi kongres tersebut tidak membuahkan keputusan yang fundamental , kecuali hanya seruan agar muslimin menegakkan Khilafah (Ram Gopal, Indian Muslim, Asia Publishing House, Bombay, 1959, halaman 137, 149; Hamka, Ayahku, cetakan , 1982, Ummina, Jakarta, halaman 154; Adinegoro, Ensiklopedia Umum dalam bahasa Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1954, halaman 196; H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden. E.J. Brill, 1953 M, halaman 154).

** Semula direncanakan akan mengirim delegasi ke Kongres Khilafah di Mesir, bulan Sya’ban 1343 H (Maret 1925 M), tetapi tidak jadi dilaksanakan, karena kongres itu sendiri tidak jadi diselenggarakan, sebab terjadi kemelut di Mesir dengan terbunuhnya Gubernur Jenderal Inggris untuk Sudan, Jenderal Sir Lee Tack, di Kairo, pada 20 Rabi’ul Akhir 1343 H/19 November 1924 M.

* Abdul Karim Amrullah disertai Abdullah Ahmad turut menghadiri Kongres Khalifah di Kairo, pada tanggal 1-7 Dzulqa’dah 1344 H/13-19 Mi 1926 M. (Hamka, Ayahku, halaman 153). Tetapi usaha kongres tersebut juga tidak berhasil (J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden. E.J. Brill, 1953 M, halaman 239).

Kholifah

Tafsir

Firman Allah Subhanahu Wata’ala:


وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ اِنِّى جَاعِلٌ فِىْ الاَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّى أَعْلَمُ مَا لاَتَعْلَمُوْنَ {البقرة: 30}.



“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu berkata kepada para Malaikat:’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi . Mereka bekata:’Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ” (QS.Al-Baqarah: 30).



Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang lain telah menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya imam (pimpinan).



Selanjutnya Ibnu Katsir menukilkan kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:

وَمَا لاَ يـَتـِمُّ اْلـوَاجـِبُ إِلاَّ بِهِ فَهـُوَ وَاجـِبٌ.

“Sesuatu yang menyebabkan kewajiban tidak dapat terlaksana dengan sempurn,maka dia menjadi wajib adanya”.
Ayat lain yang menjadi dalil wajibnya menegakkan khilafah adalah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ {النساء: 59}

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, (QS.An-Nisa: 59).

Pada ayat ini Allah memerintahkan agar orang yang beriman mentaati Ulil Amri. Menurut Al-Mawardi, Ulil Amri adalah pemimpin yang memerintah umat Islam. Tentu saja Allah tidak memerintahkan umat Islam untuk mentaati seseorang yang tidak berwujud sehingga jelaslah bahwa mewujudkan kepemimpinan Islam adalah wajib. Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut Taqiyuddin An-Nabhani.

Kewajiban menegakkan khilafah juga didasarkan kepada beberapa hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam antara lain:

لاَ يَحـِلُّ لـِثَلاَثـَةِ يَكـُوْنـُوْنَ بـِفـَلاَةِ مـِنْ فـَلاَةِ اْلاَرْضِ إِلاَّ اَنْ يـُؤَمـِّرَ عـَلـَيْهـِمْ اَحَـدَهُـمْ {رواه أحمد}.

“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pimpinan” (HR.Ahmad).

Asy-Syaukani berkata:”hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan umat Islam. Dengan adanya pimpinan umat Islam akan tehindar dari perselisihan sehingga terwujud kasih sayang diantara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak menurut pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Di samping itu kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan”.

Sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ {رواه البخاريعن ابى هريرة}.

"Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang digembala kannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Hadits ini di samping menginformasikan kondisi Bani Israil sebelum Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam diutus sebagai Rasul dan Nabi terakhir yangs selalu dipimpin oleh para Nabi, juga merupakan Nubuwwah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan dialami umat Islam sepeninggal beliau.

Nubuwwah adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan terjadi.

Pada hadits ini Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam menjelaskan bahwa sepeninggal beliau umat Islam akan dipimpin oleh para khalifah, seperti Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Para khalifah ini akan memimpin umat Islam seperti para Nabi memimpin Bani Israil hanya saja mereka tidak menerima wahyu.

Oleh karena itu Abu Al-Hasan Al-Mawardi (w.450 H) mendefinisikan Imaamah (kepemimpinan umat Islam) sebagai

موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا.

“Kedudukan yang diadakan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia).

Kata السياسة yang merupakan masdar dari kata ساس- يسوس , menurut An-Nawawi dalam “Syarh Muslim” mempunyai pengertian :

القيام على الشيئ بما يصلحه. “Mengatur sesuatu dengan cara yang baik”

Ketika menjelaskan hadits di atas Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata:”Di dalamnya mengandung petunjuk tentang keharusan adanya pemimpin bagi masyarakat (Islam) yang akan mengatur urusan mereka dan membawanya ke jalan yang baik serta melindungi orang-orang yang teraniaya”.

Para ulama mengomentari kewajiban menegakkan khilafah (kepemimpinan umat Islam) sebagai berikut
a.Asy Syaikh Muhammad Al-Khudlri Bik
Di dalam “Itmam Al-Wafa” mengatakan bahwa umat Islam telah sepakat tentang wajibnya menegakkan khilafah (kepemimpinan Islam) setelah Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam.

b.Al-Jurjani
“Mengangkat Imam adalah salah satu dari sebesar-besar maksud dan sesempurna-sempurnanya kemaslahatah ummat”.

c.Al-Ghazali.
“Ketentraman dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya pimpinan yang ditaati oleh karenanya orang mengatakan:’Agama dan pimpinan adalah dua saudara kembar’. Dan karenanya pula orang mengatakan:’Agama adalah sendi dan pimpinan adalah pengawal. Sesuatu yang tidak ada akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada pengawal akan tersia-sia.

d.Ibnu Khaldun
“Mengangkat Imam adalah wajib. Telah diketahui wajibnya pada syara’ dan ijma’ sahabat dan tabi’in. mengingat bahwa para sahabat segera membai’at Abu Bakar stelah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat dan menyerahkan urusan masyarakat kepadanya. Demikian pula pada tiap masa sesudah itu tidak pernah masyarakat diabiarkan dalam keadaan tidak berpemimpin. Semuanya merupakan ijma’ yang menunjukkan kewajiban adanya Imam.
e. Al-Mawardi
“Andaikata tidak ada Imam, masyarakat tentu menjadi kacau balau (anarkhis) dan tidak ada yang memperhatikan kepentingan mereka.

f.Yusuf Al-Qardhawi
“Disebutkan dalam “Mandzumah Al-Yanharah”

وواجـب نـصـب امام عادل # بالـشـرع فاعـلم لابحـكـم العـقـل.

“Kewajiban mengangkat Imam yang adil # adalah ketentuan syara’ buakan ketetapan akal”.

Oleh karena itu muslimin yang tidak memiliki Imam atau Khalifah, maka mereka semuanya menanggung dosa. Karena mereka telah melalaikan satu kewajiban, yaitu fardlu kifayah yang menjadi tanggung jawab mereka bersama untuk melaksanakannya.

Periodisasi Kepemimpinan Umat Islam
Dari Nu’man bin Basyir Radiallahu ‘Anhu, Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ {رواه احمد}.

”Adalah masa Kenabian itu ada di tengah tengah kamu sekalian, adanya atas kehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehandak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemu- dian Allah mengangkatnya apabila Ia meng hendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyom bong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemu dian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghen daki untuk mengang katnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).” Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR.Ahmad).

Menurut hadits ini kepemimpinan umat Islam akan mengalami 4 periode:
1.Masa Kenabian
Yaitu masa umat Islam dipimpin oleh Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam, masa kenabian ini selama 23 tahun

2.Masa Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah
Yaitu masa umat Islam dipimpin oleh para khalifah yang mengikuti jejak Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam. Masa ini dimulai dengan dibai’atnya Abu Bakar As-Siddiq sebagai Khalifah setelah Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam wafat. Oleh karena itu Abu Bakar sebagai Khalifah yang pertama menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulullah (pengganti Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam). Selanjutnya Umar bin Khattab, sebagai Khalifah kedua menyebut dirinya sebagai Khalifah Khalifah Rasulullah (penggantinya pengganti Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam). Khalifah ketiga, Utsman bin Affan, karena sebutannya terlalu panjang, hanya disebut Khalifah. Mulai sejak itu sebutan Khalifah dipakai secara populer. Sebutan tersebut terus dipakai sampai ke masa Ali bin Abi Thalib, sebagai khalifah keempat.

Masa Khilafah ‘Ala Mihajin Nubuwwah ini berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam:

الْخِلاَفَةُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ {رواه ابو داود والترمذي}

“Masa pada ummatku itu tiga puluh tahun kemudian setelah itu masa kerajaan (HR.Abu Dawud dan Tirmidzi).

3.Masa Mulkan
Yaitu masa umat Islam dipimpin oleh para raja. Sebagai raja pertama adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan (w. 60 H).

Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad, Mu’awiyah bin Abu Sufyan pernah berkata kepada Abdurrahman bin Abi Bakrah:

اَتَـقـُوْلُ اْلمُلـْكُ؟ فَقَدْ رَضِيـْنـَا بِاْلمـُلـْكِ.

“Apakah kamu berkata kami raja? Sungguh kami ridha dengan kerajaan”.

Masa Mulkan (kerajaan) ini terdiri dari dua periode yaitu Mulkan Adlan (kerajaan yang mengigit) dan Mulkan Jabariyah (kerajaan yang menyombong). Para ahli sejarah mencatat bahwa masa mulkan ini berakhir dengan diruntuhkannya Dinasti Utsmaniyah di Turki oleh Mustafa Kamal Pasya pada tahun 1342 H / 1924 M.

4.Masa Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah
Yaitu masa umat Islam akan kembali dipimpin oleh para Khalifah yang mengikuti jejak kenabian setelah berlalunya masa Mulkan (kerajaan).

Usaha Menegakkan Khilafah Setelah Runtuhnya Dinasti Utsmaniyah di Turki.

Usaha menegakkan khilafah yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam telah dimulai sejak melemahnya Dinasti Utsmaniyah. Upaya ini diawali dengan dibentuknya Pan Islamisme di akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897).

Tujuan utama Pan Islamisme adalah mengembalikan kekhalifahan tunggal bagi dunia Islam sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin. Walaupun Pan Islamisme tidak memperlihatkan hasil konkrit namun telah menyadarkan umat Islam di berbagai tempat tentang pentingnya kesatuan dan kekhalifahan Islam.

Pada tahun 1919 di India telah dibentuk “All India Khilafah Conference” yang secara rutin mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan dan mengusahakan penyatuan ummat dan tegaknya khilafah. Pada tahun 1921, di Karachi diadakan lagi konferensi yang kedua dengan tujuan yang sama. Pada tahun 1926 di Kairo, Mesir diselenggarakan Kongres Khilafah yang diprakarsai oleh para ulama Al-Azhar.

Di samping itu masih banyak kongres-kongres lain yang diselenggarakan untuk menegakkan kembali khilafah di tengah kaum muslimin, namun belum membuahkan hasil yang mendasar.

Di Indonesia usaha menegakkan khilafah juga dilakukan oleh beberapa Organisasi Islam yang akhirnya terbentuk Komite Khilafah pada tahun 1926 yang berpusat di Surabaya. Tokoh-tokoh Islam Indonesia yang mempunyai perhatian besar terhadap penegakkan khilafah antara lain, HOS.Cokroaminoto, KH.Mas Mansur, KH.Munawar Khalil, Abdul Karim Amrullah dan Wali Al-Fatah.

Di antara tokoh-tokoh tersebut Wali Al-Fatah (1326H-1396H / 1908M-1976M) adalah salah seorang yang konsisten dan secara transparan menda’wahkan wajibnya umat Islam menegakkan Khilafah dan mengangkat Imam.

Wali Al-Fatah menyatakan adanya Imam adalah wajib bagi umat Islam. Pelanggaran atas hal tersebut adalah dosa besar dan ini berarti suatu anarkhi, suatu perbuatan sendiri-sendiri yang tidak ada contohnya dalam syari’at Islam yang akan mengakibatkan timbulnya perpecahan di mana masing-masig kelompok atau golongan mengaku benarnya sendiri.

Wali Al-Fatah mengingatkan bahwa umat Islam akan dapat bersatu apabila mereka mempunyai Imam (pimpinan).

Satu umat tanpa pimpinan bukan umat namanya, tetapi hanya segundukan manusia yang masing-masing mengaku sebagai muslim tetapi tidak ada yang memimpin dan yang mengontrol.

Oleh karena itu Wali Al-Fatah mengajak para ulama untuk segera bangkit menelaah masalah kepemimpinan umat Islam dan mengangkat Imam sehingga kesatuan umat Islam dapat terwujud.

Namun ajakan ini kurang mendapat sambutan. Mereka menganggap ajakan ini bagaikan memutar jarum sejarah dan mengajak umat Islam kembali ke zaman unta bahkan ada yang berpendapat bahwa tidak mungkin umat Islam dapat disatukan.

Mengingat pentingnya masalah kepemimpinan umat Islam ini, Wali Al-Fatah bersedia memikul beban untuk dibai’at menjadi Imaamul Muslimin. Pembai’atan ini dilaksanakan di Jakarta pada 10 Dzulhijjah 1372H / 20 Agustus1953M.

Setelah pembai’atan dilakukan, kemudian selama beberapa tahun diumumkan ke seluruh dunia untk mencari informasi apakah di tempat lain sudah ada Imam yang lebih dahulu dibai’at.

Sebagai konsekwensi apakah sudah ada Imam yang lebih dahulu dibai’at maka Wali Al-Fatah bersedia menjadi ma’mum karena tidak boleh ada dua Imam dalam satu masa bagi dunia Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا {مسلم}

“Apabila dibai’at dua khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya. (yaitu yang terakhir).” (HR. Muslim).

Sampai dengan Wali Al-Fatah meninggal dunia pada tahun 1396H / 1976M tidak didapat informasi bahwa di tempat lain sudah ada Imam yang dibai’at lebih dahulu. Maka sebelum jenazahnya dikuburkan, pada hari Sabtu 28 Dzulqa’dah 1396H / 20 November 1976M dibai’atlah sebagai penggantinya, hamba Allah Muhyiddin Hamidy menjadi Imaamul Muslimin hingga sekarang.

Mungkinkah Umat Islam Bersatu?
Menjawab keraguan orang tentang kemungkinan bersatunya umat Islam di bawah seorang Imam (khalifah), Dr.Yusuf Al-Qardhawi dengan tegas mengatakan bahwa kesatuan umat Islam adalah realita dan pasti akan terwujud bukan sebuah khayalan (utopia).

Di dalam risalahnya yang berjudul “Al-Ummah Al-Islamiyah Haqiqah la Wahn” beliau menyebutkan 6 (enam) criteria tentang kepastian terwujudnya kesatuan umat Islam:



1.Menurut Logika Agama
Al-Qur’an di dalam beberapa ayat menyatakanbahwa kaum muslimin adalah امة balikan امة واحدة bukan امما (beberapa umat). Hal ini dapat dilihat pada Surat Al-Baqarah: 143, Ali-Imran: 110, Al-Anbiya: 92, Al-Mu’minun: 52.

Sedang di dalam sunnah NAbi Shalallahu alaihi wa Sallam banyak sekali hadits yang menjelaskan pengertian umat sebagaimana yang disebutkan di atas, misalnya:

كان امتي يدخلون الجنة إلا من ابى {البخاري}.

“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang tidak mau” (HR. Bukhari)

2.Menurut Logika Sejarah
Umat Islam pernah bersatu di bawah seorang khalifah dalam masa hampir seribu tahun dan meliputi daerah yang sangat luas mulai dari Cina di sebelah Timur dan Andalusia (Spanyol) di sebelah Barat. Walaupun pernah pula muncul beberapa khalifah dan ada sebagian wilayah yang memisahkan diri namun secara umum umat Islam tersebut masih merasa bahwa mereka adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dari umat yang satu. Hal ini dikarenakan tujuan mereka satu, musuh mereka satu maslahah mereka satu dan beberapa unsure lain yang mengharuskan mereka tetap bersatu.

3.Menurut Logika Geografis
Dengan kehendak Allah, umat Islam menempati negeri-negeri yang saling berdekatan dan sambung menyambung antara satu dengan yang lainnya mulai dari Jakarta di sebelah Timur hingga Rabbath Al-Fath di sebelah Barat. Atau mulai dari Samudra Pasifik ke Samudra Atlantik.
4.Menurut Logika Realita
Secara realita umat Islam adalah umat yang satu. Hal ini kita lihat ketika sebagian umat Islam menderita maka sebagian yang lain ikut merasa penderitaan itu.

Dalam kasus Masjid Al-Aqsha (Palestina) misalnya, kita lihat seluruh umat Islam di mana saja bangkit memberikan bantuan kepada Mujahidin yang berusaha membebaskan masjid Al-Aqshadari cengkeraman Zionis Yahudi.

Begitu juga kasus Bosnia-Herzigovina, dengan penuh perhatian kaum muslimin seluruh dunia mengikuti perkembangan perjuangan muslimin Bosnia dari hari ke hari dan memberikan bantuan apa saja yang mereka butuhkan

Setelah dunia Arab kalah dalam pertempuran melawan Israel pada tahun 1967, maka ketika dibuka pendaftaran sukarelawanuntuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Isarel, orang yang paling banyak mendaftarkan adalah kaum muslimin dari Pakistan. Sementara itu dalam jihad di bumi Afghanistan melawan komunis Rusia, kebanyakan mujahidin yang datang adalah kaum muslimin Arab, Afrika, Eropa dan Amerika.

Sampai saat ini para khatib seluruh dunia Islam senantiasa memanjatkan do’a pada setiap Jum’at untuk kebaikan, kesejahteraan dan kemuliaan negeri-negeri Islam seluruh dunia.

Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengecualikan kesatuan menurut logika realita ini dari kelompok pemimpin yang otoriterdan para pemikir yang mengekor Barat karena mereka ini adalah individu muslim yang telah terpisah dari nurani umat dan mereka tidak pernah mau merasakan derita yang menimpa umat Islam.

5.Menurut Logika Non Muslim
Orang-orang non muslim tidak pernah menjadikan realita perpecahan dan perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam sebagai bukti bahwa umat Islam telah terpecah belah. Mereka tetap menganggap bahwa umat Islam itu adalah satu umat. Apabila terjadi perpecahan hanyalah perpecahan lahiriyah saja tetapi perasaan mereka tetap satu.

6.Menurut Logika Maslahat dan Tuntutan Zaman.
Seandainya perwujudan umat Islam dalam arti yang sebenarnya tidak ada menurut logika agama, sejarah, geografis, realitas kehidupan dan persepsi orang non muslim, maka sesuai logika maslahat dan tuntutan zaman wajib bagi kita menciptakan dan mengusahakan kesatuan umat Islam. Karena mustahil umat Islam akan mampu bersaing di era tekhnologi canggih ini secara sendiri-sendiri sementara itu kita saksikan negara-negara industri maju berkerja sama untuk menciptakan produk-produk tercanggih yang sejalan dengan tekhnologi terkini.

Pada masa lalu umat Islam memiliki seorang khalifah yang dapat mengajak umat Islam untuk bertindak bersama-sama dalam mengatasi problematika yang mereka hadapi. Mereka yang lemah dapat meminta pertolongan kepada khalifah apabila ada yang mengganggu. Hal ini menyebabkan musuh-musuh Islam berfikir panjang apabila hendak mengganggu umat Islam. Namun hari ini umat Islam tidak memiliki seorang khalifah yang melindungi mereka. Umat Islam telah melakukan kesalahan besar dengan menyia-nyiakan institusi khilafah dan tidak mampu mewujudkan gantinya. Aib (kesalahan) ini adalah kesalahan umat Islam bukan kesalahan Islam karena Islam telah mempersatukan umatnya dan mensyria’atkan tuntunan yang dapat mewujudkan kesatuan mereka dan memelihara keselamatan mereka.

Demikian sebagian uraian Dr. Yusuf Al-Qardhawi tentang kriteria yang memperkuat bukti akan terwujudnya kesatuan umat Islam. Namun kesatuan itu tidak akan datang begitu saja. Untuk mewujudkannya perlu kerja keras dan perjuangan yang berkesinambungan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kerja keras dala menggapai cita-cita, sebagaimana firman-Nya:

إن الله لايغير ما بقوم حتى يغيروا ما بانفسكم {الرعد: 11}.

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada mereka sendiri” (QS.Ar-Ra’d: 11).

Usaha yang paling fundamental untuk mewujudkan persatuan umat adalah dengan menegakkan institusi khilafah / imaamah. Karena hanya dengan adanya seorang khalifah / imam umat Islam dapat bersatu.

Dengan dibai’atnya Wali Al-Fatah sebagai Imaamul Muslimin berarti umat Islam telah memiliki Imam kembali. Apabila pada pembai’atan tersebut atau pada perjalanan keimaamahan sesudahnya dipandang terdapat berbagai kekurangan maka tugas umat Islam bersama untuk menyempurnakannya. Karena masalah Imam, bukan masalah yang harus diperebutkan tetapi masalah kewajiban syari’at.

Siapapun yang dibai’at, asal memenuhi syarat maka yang lain wajib membai’atnya dan mentaatinya.

Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إن امر عليكم عبد مجدع (حسبتها قالت) أسود يقودكم بكتاب الله فاسمعوا له وأطيعوا {مسلم عن يحي بن حصين}.
“Apabila diangkat untuk memimpin kamu seorang budak yang terpotong hidungnya –say (Yahya bin Hushain) mengira, dia (Ummu Hushain) berkata-yang hitam, selama memimpin kamu dengan kitab Allah maka dengarlah dan taatilah (HR.Muslim dari Yahya bin Hushain).
Wallahu A’lam Bissawwab

Maraji’

1.Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Toha Putra, Semarang, t.t.
2.Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, Dar Al-Fikr, t.t.
3.An-Nawawi, Syarh Muslim, Dahlan, Bandung, t.t.
4.Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, Dar Al-Fikr, t.t.
5.Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Al-Nas’ani al-Halabi, 1326H.
6.Muhammad Al-Khudlri Bik, Itmam Al-Wafa’, Maktabah Tsaqafiyah, Beirut, 1402H.
7.Yusuf Al-Qardhawi, Al-Ummah Al-Islamiyah Haqiqah la Wahn, Maktabah Wahbah, t.t.
8.Wali Al-Fatah, Khilafah “Ala Minhajin Nubuwwah, Amanah, Bogor, 1415H.
9.Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Khilafah, Terjemah.Muhammad Al-Khaththath, dkk, Khazanal Islam, Jakarta, Cetakan I, 1416H.
10.Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cetakan VI, 1999.

Ali Bin Abi Thalib (660-661 M)

Ali Bin Abi Thalib (660-661 M)
Pemuda Pertama Hasil Binaan Rasulullah


“Tidak ada orang yang patut disebut masuk Islam paling dini kecuali Ali. Tidak ada yang pantas disebutkan meleburkan dirinya dengan Islam kecuali Ali. Ketika disebutkan orang yang paling paham masalah agama, dan ketika disebutkan tentang kezuhudan pada saat manusia memperebutkan dunia, maka hanya Ali yang pantas untuk disebutkan untuk itu semua”. Demikian Al-Jahizh menukilakan sedikit keutamaan salah seorang sahabat yang dijamin masuk syurga ini.

“Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan” demikian ungkapan pepatah Arab yang tidak asing lagi di kalangan aktivis dakhwah. Rasulullah sangat menyadari bagaimana pentingnya arti sebuah pembinaan terhadap pemuda. Ali merupakan pilot proyek pertama Rasulullah dalam membina sebuah generasi untuk meneruskan estapet kepemimpinan Muslimin ke depan. Ungkapan Al-Jahizh mengenai sosok Ali di atas adalah sedikit gambaran pribadi pemuda hasil didikan Rasulullah yang pertama.


Hasil didikan dan tempaan Rasulullah menjadikan Ali sebagai sosok yang sangat gemilang dan senantiasa mendapatkan kemenangan dalam berbagai peperangan di zaman nabi. Pola pembinaan Rasulullah menjadikan Ali dikaruniai pemahaman yang sangat baik terhadap agama dan dunia. Musuh-musuhnya sering mengomentari bahwa dia sebagai penduduk bumi yang paling thaat melakukan ibadah, paling zuhud, paling pandai, dan paling takut kepada Allah.

Ali merupakan orang ketiga yang pertama-tama berada di “rumah” agama yang baru lahir: Muhammad, Khadijah, dan Ali, dan orang yang selalu berada di samping Rasulullah dalam semua pertempuran beliau. Dialah orang yang tidur menggantikan Rasulullah ketika beliau hijrah ke Madinah, konseptor perjanjian Hudaibiyah, dan orang yang membacakan ayat-ayat pertengahan surat al-bara`ah pada tahun di mana Abu Bakar dan kaum Muslimin melakukan ibadah haji. Karena keutamaannya Rasulullah sangat mencintainya dan menjadikannya suami bagi putri tercintanya Fatimah Azzahra.


Tempaan Islam dan binaan Rasulullah menjadikan Ali orang yang pantang berdiam diri mendengar tantangan lawan untuk berduel di medan perang, dan orang yang menundukan benteng “Mishsyaf” dalam Perang Khaibar di saat pasukan Muslimin dan komandan lainnya tidak mampu mendobraknya. Kethawadhuannya menjadikan dia seorang khalifah yang bersedia diadili oleh bawahannya tanpa predikat “khilafah” maupun predikat “Abu Hasan”.


Beliau memangku amanah sebagai Khilafah dalam suasana paling sulit yang dihadapi Muslimin sepeninggalan Rasulullah, di mana terjadi fitnah perpecahan di antara muslimin. Dia terpaksa memerangi Thalhah, az-Zubair dan Aisyah dalam Perang Jamal dan melawan Muawiyah dalam Perang Siffin. Menurut sebagaian pendapat ia adalah penyusun Nahjul Balaghah, di mana antara lain ia berkata: “Tanyalah kepadaku tentang apa saja yang berkenaan dengan Al Quran, maka Demi Allah tidak ada satupun ayat-ayatnya yang tidak keketahui apakah ia diturunkan siang hari atau malam hari, apakah diturunkan di padang pasir atau di atas bukti”.


Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang selalu menentang maut dan tidak pernah gentar terhadap apapun. Pada saat Perang Khandaq berkecamuk, Ali menjadi orang yang menyambut tantangan ‘Amr bin Wudd ketika dia menantang : “ Apa tidak ada di kalangan kalian yang berani menyambut tantanganku?”. Saat itulah Ali tampil ke depan meladeni tantangan Amr. Ketika melihat Ali yang maju Amr mengejek: “Sesungguhnya orang yang berada di depanmu ini jauh lebih hebat darimu. Hanya saja saya tidak mau menumpahkan darahmu”. Mendengar itu Ali menjawab: “Tapi aku, demi Allah sama sekali tidak segan menumpahkan darahmu”. Sesudah itu perang tanding tak terhindarkan yang pada akhirnya Ali menebas Amr dengan pedangnya. Setelah tersungkur Ali kemudian membunuhnya.


Demikanlah sosok salah seorang sahabat hasil binaan Rasulullah di bawah naungan pola pembinaan yang tersistematis dan efektif. Kini di tengah gelombang fitnah yang melanda muslimin akibat usaha-usaha musul Allah, kebangkitan Ali-Ali baru sangat dinantikan. Coba kita renungkan kata-kata hikmah yang diucapkan Ali sebagai hasil dari proses pembinaannya.


“Iman seseorang belum bisa dikatakan benar, sepanjang kepentingan Allah belum ia tempatkan di atas kepentingan dirinya”, dan “orang yang menang dalam kejelekan sama saja dengan orang yang kalah”. Sementara itu “mencegah diri untuk tidak melakukan kesalahan lebih mulia daripada melakukan kebenaran itu sendiri”. “ Sesungguhya tidak mau menghinakan siapapun kecualai orang yang maksiat kepada-Nya, dan barangsiapa mempercayai waktu, ia kan tertipu, dan barangsiapa yang mengagung-agungkanya ia akan dihinakannya”.


“kedudukan shabar dalam iman, laksana kepala bagi tubuh, barangsiapa beramal untuk akhirat, Allah akan mencukupi kebutuhan duniawinya. Barangsiapa berbuat baik hubungannya terhadap Allah, niscaya Allah akan membuat baik hubungannya dengan manusia lainnya, barangsiapa yang ikhlas melakukan sesuatu maka Allah akan ikhlas pula menolongnya”.


Kini saatnya bagi para pemuda pencipta risalah Allah untuk meniru apa yang dilakukan sahabat Ali bin Abi Thalib ini yaitu melarutkan diri dalam pembinaan tarbiyah, ukhuwah dan perjuangan muslimin. Bagi para umara saatnya kita terapkan suatu pola pembinaan yang efektif, sistematis dan sesuai dengan syariat Allah dan Rasul-Nya, sehingga akan lahir-lahir Ali-Ali baru menyongsong fajar kebangkitan Islam.
Wallahu a'lam